Selasa, 10 Agustus 2010

Salam

Potret diri Herry Dim, 1990an
Selamat Datang
dan Terimakasih
Telah Berkunjung 

ke blog
Herry Dim's Online Gallery.


Beberapa karya terutama berupa lukisan karya Herry Dim ditampilkan di sini untuk dinikmati oleh Anda semua. Demikian halnya yang berkenaan dengan karya-karya tersebut seperti tulisan curatorialship, berita, dan ulasan/kritik tentang karya, kami muat dalam rubrik masing-masing atau berdasar posting berkala pada blog ini.
Upaya ini dilakukan tidak lain demi apresiasi Anda semua, khususnya terhadap karya-karya Herry Dim dan karya seni Nusantara/Indonesia pada umumnya.
Herry Dim adalah seniman paripurna, ia termasuk salah seorang seniman yang tidak selalu ada di setiap zaman atau kebudayaan dunia. Selain melukis, ia pun mengerjakan dan membuat karya-karya senirupa lainnya semisal seni grafis, seni instalasi, dan menciptakan "ruang" bagi pertunjukan teater, tari, musik, resitasi sastra, hingga performance art. Sebagian dari karya-karya lainnya tersebut, secara bertahap pula akan disajikan di dalam blog ini.
Hal luar biasa lainnya di dalam tataran kebudayaan sekaligus jarang ditemukan dan/atau tidak selalu ada di setiap zaman, Herry Dim pun adalah pemikir yang bisa dikategorikan sebagai filsuf untuk bidang seni dan kebudayaan. Pemikiran-pemikirannya banyak tersebar dalam bentuk berbagai tulisan baik yang telah dimuat oleh sejumlah media, makalah-makalah seminar, hingga lembaran-lembaran kertas untuk pendidikan seni non-formal. Sebagian kecil dari pemikiran dan karya tulisnya pun akan ditampilkan di blog ini.
Semoga saja upaya ini bisa memberikan selintas gambaran tentang seorang Herry Dim, dan yang terpenting lagi semoga bermanfaat bagi Anda sekalian.

[pengelola herry dim's online gallery]

Kucing Hitam

Saya, Edgar Allan Poe,
dan Kucing Hitam


Catatan: Herry Dim

Dulu, sudah lama sekali ketika saya masih duduk di kelas dua SMA tahun 1972, saya menemukan potongan tulisan riwayat hidup Edgar Allan Poe. Tulisan pada koran tua itu tak lengkap karena sambungan halamannya tak ditemukan lagi. Ada rasa iba ketika membaca riwayat Edgar Allan Poe (EAP) tersebut. Kehidupannya begitu miskin, bahkan ayahnya yang bekerja sebagai aktor sandiwara keliling, itu meninggal karena TBC (tubercolosis). Nasib EAP sendiri kadungsang-dungsang, menitipkan diri dan kehidupannya kepada keluarga John Allan, seorang pedagang tembakau dan sebagian namanya menjadi nama EAP. Di kemudian hari pun ia masih hidup menumpang di bibinya, Ibu Clemms, bahkan istrinya meninggal karena kelaparan di suatu musim dingin.
Rasa iba yang muncul, tentu saja, tak lebih dari rasa iba yang kekanak-kanakan yaitu simfati yang muncul karena mempersamakan hidup EAP dengan kehidupan saya sendiri yang tidak jauh berbeda. Merasa sama-sama miskin, bahkan belakangan hari ayah saya mengatakan tak sanggup untuk membiayai saya untuk melanjutkan sekolah.
Kecuali riwayat hidup EAP yang sepenggal, saya tak pernah membaca hal lainnya apalagi karya-karyanya. Namun entah mengapa nama EAP tersebut seolah-olah menempel di benak dan di hati.
Pada tahun 1975an di belokan jalan Braga ke arah jalan Tamblong, Bandung, itu terdapat perpustakaan British Council. Pendaftarannya murah, pinjam bukunya pun gratis kecuali jika ada keterlambatan atau buku yang dipinjam hilang. Saya daftar di sana, dan buku yang kali pertama dicari adalah kumpulan karya EAP.
Saya tak ingat lagi penerbit dan tahun terbitnya. Buku tersebut bersampul tebal (hard cover) berwarna hitam atau tepatnya hijau pekat dekat ke warna hitam, judulnya Selected Tales Edgar Allan Poe. Buku tersebut ternyata mengalami bolak-balik karena saya tak pernah selesai membacanya sehingga berulang-ulang harus diperpanjang masa pinjamnya. Maksud tak selesai dibaca tersebut bukan dalam arti keseluruhan satu buku, melainkan satu cerpen pun tak pernah sanggup membacanya sampai selesai. Dan masih tak selesai juga sampai British Council bubar, jika tidak salah pada tahun 1979an. Alasannya tak selesai membaca, itu sederhana saja karena memang saya tak menguasai bahasa Inggris sehingga setiap membaca itu dengan cara sambil membuka kamus dan memeriksa kata per kata.
Belakangan hari ketika, katakanlah, daya baca saya pada teks berbahasa Inggris sudah agak lumayan. Cerpen yang sama yaitu “Kucing Hitam,” saya lacak kembali hingga akhirnya saya dapatkan dalam bahasa aslinya, bahasa Inggris Amerika. Saat ini sejumlah nama lain seperti Tolstoy, Chekov, Steinbeck dan karya-karyanya sudah saya kenal.
Ini adalah masa ketika saya sudah kuliah di jurusan teater ASTI (kini STSI) Bandung. Di bangku kuliah, yang antara lain pelajaran sastranya saya dapat dari Pak Saini KM, bacaan saya pun semakin luas lagi. Untuk sejumlah karya lain, saya relatif tak mengalami kesulitan untuk membacanya. Tapi lain halnya dengan cerpen “Kucing Hitam,” lagi-lagi menthok.
Pada hari ulang tahun saya yang ke-50, sahabat kami, Juniarso Ridwan, memberi kado yang ajaibnya adalah “Selected Tales : Edgar Allan Poe” terbitan Penguin (1994). Malam selepas acara ulang tahun, itu pun segera yang saya buka adalah halaman 311 yaitu cerpen “the Black Cat.” Harus diakui, malam itu pun tidak serta-merta menjadi lancar pembacaannya. Namun, ketidaklancaran membaca kali ini dilalui sambil tertawa, yaitu menertawakan kebodohan masa lalu serta tertawa membaca bahwa kalimat-kalimat EAP itu memang melompat-lompat, terkadang kalimatnya tak lengkap, satu kalimat dengan anak kalimatnya itu terkadang ‘seperti’ tidak bersambungan, bahkan bisa pula berantakan. Sementara “Kucing Hitam” ditulis, memang manakala EAP hidupnya sudah sangat kacau di antara alkohol, obat bius, kolera, penyakit anjing gila (rabies), dan kehidupannya yang terlunta-lunta.
Dan, hemat saya, “Kucing Hitam” betul-betul mengagumkan. Sosok kucing hitam tersebut tiba-tiba menjadi metafor sekaligus menjadi jalan penghubung untuk penggambaran metamorfosa manusia yang menjadi binatang, sementara “kucing” memperlihatkan naluri kasih-sayang yang seharusnya menjadi ciri kemanusiaan.
Sepanjang tahun 1995 – 2005an, kami pun memiliki atau tepatnya selalu kedatangan seekor kucing hitam yang kami beri nama Si Timmy, sementara kucing hitamnya EAP bernama Pluto. Kami tak sengaja memeliharanya. Tapi setiap kali ia datang, kami senantiasa menyempatkan memberinya makan. Si Timmy pandai sekali menangkap tikus, gesit, dan tidak manja. Lain hal di usianya yang renta, sungguh membuat kami sering iba, Si Timmy tak bisa lagi bergerak lincah bahkan lebih banyak berdiam diri. Pada masa-masa di ujung usianya itulah Si Timmy saya lukis untuk mengenang semua kenangan panjang di atas, termasuk untuk mengenang pula persahabatan guru-murid, ayah-anak, atau kakak-adik antara Popo Iskandar dan saya, dan demi mengenang Si Timmy sendiri yang pernah hadir di tengah-tengah keluarga kami bahkan para tetangga yang mengenalnya dengan baik.
 
[untuk melengkapkan catatan ini, pada kesempatan lain akan kami postingkan pula cerpen terjemahan “The Black Cat” karya Edgar Allan Poe - pengelola herry dim's online gallery]

Berbaring (1990)

Suatu masa antara tahun 1986 - 1990an, adalah masa Herry Dim sedang banyak belajar kepada Rudy Pranadjaya (1948 - 2005). Pada masa-masa itu pula selain bersama almarhum Rudy juga sering bersama Benny Somantri (alm), Umar, Nana Banna membuat sketsa bersama di berbagai tempat di Bandung.
Bersama Rudy Prandjaya, Herry Dim banyak memetik pelajaran melukis atau pun membuat sketsa-sketsa model pria atau pun perempuan.
"Maneh kudu bisa ngalukis model telanjang (kamu harus bisa melukis model telanjang)," kata Rudy seperti dituturkan kembali oleh Herry Dim. Maka selama tidak kurang dari dua tahun, proses itu dijalani oleh mereka berdua secara bersama.
Suatu saat Rudy Pranadjaya berkata lagi, "yeuh, kanvasna dibere ku urang, maneh ngalukis deui model telanjang tapi ulah make koas. Make peso palet wungkul.... (ini, saya kasih kamu kanvasnya, kamu melukis model telanjang lagi tapi jangan memakai koas. Hanya menggunakan pisau palet saja....)"
Salah satu hasil dari masa berguru kepada Rudy Pranadjaya, itu adalah lukisan yang berjudul "Berbaring" (1990) di atas.

[pengelola herry dim's online gallery]

Selasa, 03 Agustus 2010

Miang

Karya ini berjudul "Miang" (bahasa Sunda, redblog) yang tidak tepat benar jika diterjemahkan "pergi" di dalam bahasa Indonesia atau "goes" di dalam bahasa Inggis. Sebab di dalam kata "pergi" atau "go" belum jelas arah tujuannya, sementara di dalam kata "miang" mengandung arti biasanya pergi untuk mencari kehidupan, usaha untuk hidup, melaksanakan tugas/pekerjaan, atau pergi untuk menemukan hal baru.
Lukisan yang menggambarkan seorang penari yang telah berbusana nyaris lengkap untuk menari ini, menunjukan seorang penari yang "pergi untuk melaksanakan tugasnya menari."
"Miang" (1999), merupakan bagian dari serial lukisan "Pohaci" yang pernah dikerjakan oleh Herry Dim selama hampir enam tahun pada tahun 1990an dan menghasilkan sekira 30 - 60 karya yang semuannya memperlihatkan sosok Pohaci.
Tokoh Pohaci sebelumnya tidak pernah ditampilkan secara visual atau dalam bentuk gambar, kecuali di dalam uraian tekstual sejumlah cerita pantun. Berdasarkan cerita-cerita pantun serta sejumlah legenda lainnya itu pula Herry Dim kemudian melakukan penelahaan serta penafsiran sehingga kemudian muncul gambaran "Pohaci" berdasarkan imajinasinya sendiri.
Pohaci adalah dewi atau sosok perempuan yang disucikan di dalam kebudayaan Sunda. Terkadang mengesankan sebagai ibu bumi (mother earth), dewi kesuburan, dewi yang menjaga dan mengasuh kehidupan, dan sering pula dipersamakan dengan dewi padi (Dewi Sri).


[redaksi pengelola blog herry dim's online gallery]