Sabtu, 02 Juli 2011

Mengapa Orang-orang Pergi Nonton Teater?

Bab Pendahuluan

(calon buku "Badingkut di antara Tiga Jalan Teater")

Pada kesempatan memberikan materi pelatihan “bimbingan teknis tata panggung 2011“ yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata – Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film – Direktorat Kesenian, 19 – 23 April 2011, di Padepokan Nasional Pencak Silat (PNPSI) TMII jalan Taman Mini Raya No. 1, Jakarta; sebagai pembukaan dimulailah dengan pertanyaan “mengapa orang-orang pergi nonton teater?“

Itu sama sekali bukanlah pertanyaan baru. Kitab tua tulisan John. E. Dietrich berjudul “Play Direction“ yang terbit tahun 1953, antara lain telah mengajukan pertanyaan itu. Namun, terutama dengan memperhatikan jawaban John. E. Dietrich yang terurai di dalam buku tersebut, pertanyaan yang sama terasa kemendesakannya untuk diajukan kembali di zaman kita seperti sekarang ini.

Dietrich dengan merujuk pendapat seorang aktor sekaligus penulis naskah drama dan produser pertunjukan teater, George M. Cohan, memberikan jawaban bahwa orang-orang pergi ke teater tidak lain untuk tiga hal yaitu: tertawa, menangis, dan dicekam.

Di zaman buku Dietrich tersebut ditulis serta beberapa dasawarsa setelah terbit, mungkin jawaban atas pertanyaan tersebut jelas dan tuntas. Tapi lain halnya dengan kenyataan dunia seni pertunjukan di zaman seperti sekarang kita rasakan; jawaban di atas terasa menjadi perlu dibongkar, ditimbang ulang, dan mungkin pula perlu diganti dengan jawaban yang sama sekali baru.

Bagaimana tidak?

Ihwal tertawa, misalnya, itu nyaris sudah habis ruang kesempatannya direbut oleh tontonan semacam Opera van Java. Demikian halnya dengan menangis, telah habis dieksploitasi oleh aneka macam sinetron pada hampir seluruh stasiun tv yang ada di Indonesia. Hal yang relatif sama terjadi pula pada diskursus cekaman, itu telah habis diobrak-abrik oleh produksi-produksi sinetron/film horror seperti “Suster Ngesot“ dan semacamnya. Bahkan kehidupan ini sendiri sudah demikian mencekam, tidak saja oleh ancaman terror bom yang bertubi-tubi tapi juga oleh ketidak jelasan hidup, gonjang-ganjing politik yang menjijikan, dan juga secara menyeluruh di muka bumi berupa perubahan iklim yang sesungguhnya demikian menakutkan.

Jelaslah kiranya, jika rumusan atau jawabannya adalah tertawa, menangis, dan dicekam; maka orang-orang tidak perlu lagi pergi dengan susah payah ke tempat pertunjukan teater, melainkan cukup dengan tinggal di rumah bahkan bisa sambil berbaring berhadapan dengan layar kaca televisi. Dengan kata lain, teater sudah tidak diperlukan lagi karena faktor kebutuhan (need) bagi publiknya telah diambil oleh tontonan lain.

Tapi apakah betul demikian? Apakah betul teater sudah tidak dibutuhkan lagi bagi kehidupan? Jika benar, mengapa pula masih ada sejumlah kelompok/komunitas teater, masih ada lembaga pendidikan seni teater, masih ada lembaga negara yang mengurus seni dan termasuk teater? Bukankah, jika teater tak dibutuhkan lagi, sebaiknya lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga negara itu dibubarkan saja?

Munculnya pertanyaan-pertanyaan atau tepatnya kegelisahan di atas, menunjukan bahwa pertanyaan paling awal itu masih relevan dan mendesak untuk kita kaji ulang: mengapa orang-orang pergi nonton teater?

Jawaban sementara dan termudah atas pertanyaan tersebut bahwa orang-orang pergi nonton teater yaitu untuk mendapatkan hal-hal yang tidak bisa didapat dari tontonan dagelan kasar, sinetron yang memerah air mata, dan lakon-lakon horror dangkal seperti telah disinggung di atas. Tapi, masalahnya, jawaban mudah tersebut ternyata masih berujung pada tanya, yaitu: apakah yang tidak ada di dalam tontonan-tontonan populis tersebut?

Setelah melalui diskusi pada acara pelatihan di atas, muncul jawaban bahwa orang pergi nonton teater itu untuk memelihara kecendekiaan dan martabat kemanusiaan. Jawaban ini muncul antara lain atas tinjauan sekilas terhadap sejumlah naskah drama serta beberapa pertunjukannya yang pernah terjadi di tanah air. Umumnya naskah-naskah drama yang telah diakui kekuatannya, itu menunjukan adanya diskusi yang ketat ihwal kemanusiaan, filsafat, hingga pengakuan dan bahkan ‘gugatan‘ terhadap wilayah religiositas. Dari rentang keberadaan naskah drama Antigone (Sophokles) hingga Interograsi atawa Jangan Biarkan Tuhan Bicara (Arifin C. Noer), tegas sekali memperlihatkan ruang diskusi mendalam tersebut yaitu diskusi-diskusi ihwal pemahaman tentang keberadaan manusia yang hampir bisa dipastikan tidak akan ditemukan di dalam tontonan-tontonan hiburan. Wilayah diskusi atau ruang pemikiran yang terkandung di dalam naskah drama dan kemudian pertunjukan teater tersebut, pertama sekali dan/atau sekurang-kurangnya berkenaan dengan kepentingan memelihara sekaligus memuliakan kecendekiaan. Hal ini, seperti kita ketahui, tak lain merupakan ‘harta‘ atau fitrah bawaan manusia yang terbesar sekaligus pembeda dengan hewan (homo) lainnya.

Hanya pada naskah dan pertunjukan teater pula kita bisa melihat sosok manusia secara utuh dan sampai sedalam-dalamnya, dan semuanya itu dihadirkan dengan seutuh kemanusiaannya. Baik tokoh-tokoh tragik, komedia, bahkan yang mengalami nasib absurd; di dalam sejumlah drama dan pertunjukan teater itu umumnya dihadirkan dalam ‘keagungan‘ martabat kemanusiaannya. Kemendalaman serta alur yang bisa membawa pemahaman kita (penonton) terhadap gambaran kemanusiaan, itu antara lain kita temukan misalnya di dalam drama Woyzeck (Georg Buchner), demikian halnya penelanjangan hipokrisi manusia ditemukan di dalam drama Hantu-hantu (Ibsen), dan juga pertarungan kemanusiaan terhadap kebobrokan lingkungan tercermin secara mendalam seperti pada Musuh Masyarakat (Ibsen), Perjuangan Suku Naga (Rendra), seperti halnya juga pada hampir seluruh naskah-naskah yang ditulis oleh Arifin C. Noer.

Kemendalaman ihwal kemanusiaan serta puitika cara pengungkapan yang, katakanlah, seperti seindah Pernikahan Darah (Lorca) garapan Teater Populer dengan sutradara Teguh Karya, itu hampir tidak pernah dijumpai di sejumlah hiburan produksi industri seni dan bahkan tidak akan dijumpai di dalam film-film produksi Hollywood sekalipun.

Di balik sebagian kecil naskah drama dan/atau pertunjukannya yang disebut di atas, tentu di dalamnya masih ada unsur-unsur tertawa, menangis, dan daya cekam. Tapi, segera pula bisa kita melihat bahwa unsur-unsur tersebut bukanlah tujuan utama bagi suatu peristiwa teater melainkan semata-mata semacam bumbu atau hanya hadir sebatas diperlukan demi penggambaran kecendekiaan dan martabat kemanusiaannya.

Salah satu adegan dari pertunjukan Teater Koma. (foto: flickr)*



Tiga Jalan Seni Teater

Masih di tengah berlangsungnya “bimbingan teknis tata panggung 2011 (BTTP2011),“ muncul lagi pertanyaan: apakah ada bedanya antara seni industri dan seni non-industri?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas ada baiknya melihat terlebih dahulu sosiologi peserta BTTP2011 agar kita bisa melihat pula latar belakang munculnya pertanyaan tersebut.

Peserta BTTP2011 relatif beragam, di dalamnya adalah pegiat tari, aktivis teater, dan mereka yang berlatar belakang senirupa. Selain itu, mereka pun berasal dari 20 provinsi yang satu sama lain tentu memiliki perbedaan realitas seni dan masalah-masalah yang dihadapinya. Jika dirinci lagi, mereka pun terdiri dari perorangan dan sebagiannya lagi adalah karyawan Taman Budaya dan Dinas Priwisata & Kebudayaan.

Khususnya bagi kalangan Dinas Pariwisata, pertanyaan di atas dirasakan penting mengingat bahwa mereka pun sedang didorong untuk sanggup menggalang seni industri dan/atau yang pada saat ini sering didengungkan dengan istilah ’industri kreatif.’ Berkenaan dengan sosiologi seperti itu pula maka muncul pertanyaan lanjutannya: mana lebih penting antara seni industri dan non-industri?

Segera saja kita jawab terlebih dahulu pertanyaan terakhir, bahwa keduanya sama penting. Bahkan idealnya satu sama lain saling menghidupi dan/atau bukan sebaliknya terjadi proses kanibalistik atau saling membunuh. Ringkasnya, seni non-industri bisa menyumbangkan kehidupan kreatif bagi seni industri; dan pada sisi lainnya seni industri sanggup menyambung kehidupan seni non-industri terutama dalam hal ongkos produksi. Hal ini sekaligus menjelaskan adanya perbedaan bahwa seni industri cenderung tumbuh populis dan menjadi medan perdagangan, sementara seni non-industri cenderung melimpah dalam hal kreativitas tapi hidup di kalangan terbatas sehingga hampir tak pernah menjadi bagian dunia dagang dan/atau hampir tak pernah menghasilkan uang.

Oleh kenyataan sosiologis itu saja sudah mulai tampak bahwa ada dua cara hidup yang berbeda antara seni industri dan seni non-industri. Untuk lebih tegasnya lagi, kita lihat perbedaan tersebut seperti berikut ini:

Seni Industri atau yang kemudian sering pula disandingkan dengan kata industri kreatif, tegas sekali di sana menerakan kata ’industri.’ Di balik kata industri umumnya segera kita hubungkan dengan wacana profesionalisme, kecanggihan produksi dan manajemen pengelolaannya, timbangan produk yang laik dan tidak laik jual, memperhatikan selera publik dan bahkan jika dirasakan perlu biasanya dilakukan pula riset pasar.

Itulah sebagian kecil yang melandasi logika industri. Sementara di hadapan kata ’kreatif’ hingga menjadi rangkaian kata ‚industri kreatif,’ seni industri memang cenderung bermula pula dari kreativitas tapi manakala bentuk dan produknya telah ditemukan; kreativitas tiba pada saat harus dihentikan, dibekukan, dibungkus, dan kemudian dijual. Produk yang telah ditemukan tersebut, pada kasus-kasus tertentu bahkan harus terus-menerus didorong, dikemas, dan dipromosikan hingga menemukan pasarnya yang terbesar.

Demi upaya-upaya profesionalisme, kecanggihan produksi, manajemen pengelolaan, kemasan, promosi, dan penjualan seni industri; syarat yang paling pertama harus dipenuhi bahwa kesenian tersebut harus dijaga sekuat mungkin agar tidak berubah, tidak boleh ada lagi kreativitas kecuali kreativitas-kreativitas di wilayah manajemen. Demikianlah ’produk’ tersebut ditahan hingga mencapai puncak tertinggi (peak) pemasarannya. Perubahan atau kreativitas berikutnya dilakukan jika grafik pasar sudah tampak menurun dan/atau sudah sampai titik nadir tak bisa dijual lagi.

Seni Non-industri dalam berbagai hal merupakan kebalikan dari seni industri. Umumnya seni non-industri atau tepatnya dalam pembicaraan ini adalah teater non-industri, itu cenderung amatir dalam hal pengelolaan tapi sangat militan di dalam proses produksi, arah produksi tidaklah kepada pencanggihan (sofistikasi) melainkan kepada pencapaian nilai-nilai, timbangan produksi pun bukan kepada laik atau tidak laiknya dijual melainkan kepada penting atau tidak pentingnya untuk apresiasi publik, maka langkah awalnya tidaklah dengan melihat selera publik melainkan ’relevansi nilai-nilai’ yang diperkirakan dibutuhkan oleh publik ketika itu.

Dilatari lagi oleh berbagai keadaan lain –misalnya, tidak memiliki modal produksi—maka teater non-industri dalam berbagai hal sangat menuntut kreativitas. Ihwal kreativitas ini pula yang cenderung bersifat progresif pada setiap teater non-industri. Tidak jarang satu kelompok teater bisa memproduksi dua bahkan tiga produksi dalam setahun dengan naskah dan bahkan bentuk pementasan yang masing-masingnya sama-sekali berbeda. Oleh kenyataan ini saja sudah bisa kita lihat bahwa hampir tidak mungkin bagi teater non-industri untuk melakukan pengemasan, promosi, dan seterusnya. Sebab ketika pengemasan dan promosi untuk satu produksi hendak dimulai, justru pada saat bersamaan kelompok teater tersebut telah melangkah lagi ke kreativitas berikutnya.

Perbedaan-perbedaan di atas akan tampak lebih tegas lagi jika dilihat pada bentuk diagram seperti berikut ini:



Perlu pula dicatatkan di sini bahwa di antara dua perbedaan tersebut sesungguhnya masih terdapat jalan ke-tiga atau semacam “jalan tengah,“ salah satu kemungkinannya yaitu dalam moda pertunjukan teater permanen dan berkala.

Teater Jalan Tengah, cukup banyak contoh kegiatan teater di dunia yang melaksanakan moda pertunjukan teater permanen; cara ini bisa disebut sebagai jalan tengah antara teater industri dan teater non-industri. Beberapa contoh tersebut di antaranya adalah Globe Theater di London yang khusus mementaskan naskah-naskah Shakespeare secara permanen dan berkala, serta moda Off-Broadway atau Off-Off-Broadway di AS.

Tidak sama persis namun analog dengan moda jalan tengah ini adalah produksi-produksi teater yang telah direncanakan masa pertunjukannya untuk proyeksi jangka panjang antara tiga sampai dengan lima tahun ke atas. Lakon epik Mahabharata yang disutradari oleh Peter Brook, misalnya, pementasannya berlangsung selama empat tahun sejak pentas perdananya pada tahun 1985. Contoh pentas terpanjang yang sepatutnya dicatat pula adalah drama musikal “The Phantom of the Opera,” pentas perdana pada tahun 1986 dan masih berlangsung hingga sekarang di tahun 2011. Hingga tahun 2010 saja “Phantom” telah dipentaskan di 149 kota di 25 negara, ditonton oleh lebih dari 100 juta orang.

Seni pertunjukan produksi negeri kita sendiri tampaknya telah mulai menempuh jalan tengah ini, setidaknya adalah pentas teater tari I La Galigo yang disutradarai oleh Robert Wilson. Pentas perdana I La Galigo berlangsung tahun 2004 kemudian berlanjut pada pentas di berbagai kota di Asia, Eropa, Australia, dan AS. Menyusul keberhasilan I La Galigo, bahkan saat naskah buku ini ditulis pertunjukannya sedang berlangsung di tanah air, adalah garapan yang menggabungkan antara kreativitas dan logika industri ini dalam bentuk teater tari yang berjudul “Matah Ati.” Garapan yang masa prosesnya selama 2,5 tahun ini, menurut rencana untuk dipentaskan pula di beberapa negara.

Di atas itu semua dan pada peta sejarah teater Indonesia, tentu kita harus mencatatkan keberadaan Teater Koma. Kelompok yang didirikan di Jakarta, 1 Maret 1977 oleh 12 pekerja teater yaitu N. Riantiarno, Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, Cini Goenarwan, Jimi B. Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu dan Agung Dauhanadalah, sejak kiprah awalnya telah menunjukan pilihan “jalan tengah” bagi sejumlah pementasan-pementasannya. Terhitung sampai dengan 2011 Teater Koma telah berpentas sebanyak 122 kali yang di antaranya pernah mencapai 30 hari pentas untuk satu garapan. Jika kita memperhatikan pilihan naskah-naskah yang dipentaskan serta tentu saja dengan memperhatikan pula pementasannya, Teater Koma cukup tegas beranjak dari energi teater kreatif di tataran produksi dan kemudian menjalankan manajerial industri pada tataran pemasarannya. Dalam berbagai hal, Teater Koma harus disebut sebagai pelopor yang menempuh “jalan tengah” bagi teater Indonesia.


Peran Terbakukan dan Peran Kreatif

Satu hal lagi yang menjadi pembeda umum antara seni pertunjukan industri dan seni pertunjukan non-industri adalah di dalam hal seni peran. Meski tidaklah menjadi subyek bahasan untuk buku ini, ada baiknya tentang hal tersebut kita ulas dengan serba selintas.

Ihwal seni peran pada hampir setiap seni pertunjukan industri, itu berlandaskan kepada pola peran yang di/terbakukan (mannered acting). Kalaupun terjadi kreativitas, itu biasanya berlangsung di masa awal pencarian, seluruh orientasi justru kepada diri si pelaku termasuk perhatian-perhatian khusus terhadap kelebihan sekaligus kekurangan tubuhnya. Pada saatnya kelak tampil, si pelaku ini sesungguhnya berperan membawakan dirinya sendiri (manner) yang telah dikemas ke dalam kemungkinan tertentu. Manakala sosok yang sudah terbakukan ini membawakan peran lain, maka yang muncul adalah ciri statusnya berdasarkan plot sementara penampilan dan perilaku keseluruhannya adalah tetap dan/atau sama dengan ketika membawakan peran-peran lain. Gejala seperti ini sangat umum terlihat di dunia seni pertunjukan lawak. Gogon Srimulat hingga Sule di Opera van Java dan bahkan lakon-lakon produksi lainnya adalah gambaran dari pola seni peran yang dibakukan ini. Pembakuan akan terjadi terus menerus berjalan selama penggayaan (stilisasi) dirinya masih diterima publik dan masih laku di panggung industri hiburan. Pencapaian yang dianggap puncak di dalam kategori seni peran seperti ini adalah manakala seseorang dianggap telah menemukan “ciri khas” yang kemudian dianggap laris di pasar industri hiburan.

Pertunjukan tv (tv show) Opera van Java yang adakalanya pula melakukan pertunjukan pentas keliling (road show), merupakan salah satu moda seni pertunjukan industri yang fenomenal. (foto: bloggerngalam.com)

Sementara pada dunia seni peran yang sesungguhnya, keberangkatan dan pola kreatifnya justru sama sekali berlawanan arah. Pola-pola peran terbakukan oleh sebagian besar aktor/aktris bahkan dianggap “penyakit” atau sekurang-kurangnya merupakan hal yang sangat dihindari. Setiap aktor/aktris kreatif ini tampil di dalam lakon baru maka akan berusaha keras untuk sama sekali lain dengan penampilan dan penggayaan sebelumnya, sebab orientasi kehadirannya bukanlah kepada dirinya melainkan kepada tokoh yang harus diperankan berdasarkan naskah dan hasil interpretasi sutradara serta interpretasi dirinya sendiri. Sebut saja satu nama Ratna Riantiarno dari Teater Koma, jika ia pernah tampil di dalam 100 lakon maka artinya ia pernah tampil dengan 100 peran yang satu sama lain berbeda. Takaran kritik atau penilaian publiknya pun berdasarkan tuntutan kreatif tersebut. Seorang aktor/aktris dianggap berhasil dan mencapai puncak pencapaiannya justru ketika ia berhasil tampil sebagai gambaran dan pribadi baru yang sesuai dengan tuntutan naskah, gagasan sutradara, serta koordinasinya di dalam keseluruhan irama permainan di dalam pertunjukannya.

Dalam berbagai hal, tuntutan dan masa proses aktor/aktris kreatif itu jauh lebih berat dan lebih panjang ketimbang aktor/aktris dengan pola pembakuan. Untuk menghadapi pemanggungan naskah-naskah tertentu bahkan dituntut untuk mempelajari sejarah, sosiologi, ilmu jiwa (karakterologi), hingga hal-ihwal filsafat yang berkenaan dengan lakon dan watak yang hendak dibawakannya. Persiapan bagi seorang aktor/aktris oleh sutradara mumpuni, Suyatna Anirun (1936 - 2002), bahkan diandaikan seperti halnya tanah lempung bahan pembuatan seni keramik; setelah diambil dari galian, tanah itu harus dibersihkan, diolah, dan kemudian dibanting-banting agar kemudian bisa dibentuk.



Garis Besar Buku Badingkut di antara Tiga Jalan Teater

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa meski dua jalan seni (industri dan non-industri) itu masing-masing berbeda tapi keduanya sama penting bagi kehidupan kesenian kita. Bahkan sesungguhnya dua hal yang berbeda ini berada pada satu tubuh yang sama, yaitu tubuh kita sendiri yang menjalaninya, tubuh teater Indonesia.

Buku ini akan mencoba melihat ke-3 moda teater tersebut terutama dari sudut pandang tata pentasnya. Dimulai dengan pertanyaan “mengapa orang-orang pergi nonton teater,“ maka buku ini dibuka dengan penglihatan adanya fenomena Tiga Jalan Seni seperti terurai di dalam bab pendahuluan ini, yaitu yang terdiri dari fenomena Seni Industri, Seni Non-industri, dan Teater Jalan Tengah.

Pada dasarnya, buku ini bermaksud menguraikan fenomena yang paling menarik di dalam pertumbuhan teater Indonesia yaitu gejala sejumlah pekerja atau kelompok teater yang melakukan perlawanan terhadap kemiskinan. Bentuk dan cara perlawanan ini, dalam beberapa hal memunculkan suatu gerakan estetika tersendiri yang kemudian (di dalam buku ini) disebut “badingkut.“

Namun, demi kejelasan dan terpetakannya arus perlawanan tersebut, maka mau tidak mau dan/atau seyogianya uraian dimulai dengan ulasan “Teater dalam Sebuah Gambaran Umum.“ Pada bagian ini, meski dengan serba sekilas, kita akan bertemu kembali dengan uraian tentang elemen-elemen teater, tujuan-tujuan teater, teater presentasional dan teater representasional, moda produksi teater modern, ragam kelompok-kelompok teater, tentang personel teater, produser, dramaturg, sutradara, pemain, para penata yang terdiri dari penata pentas, penata busana, penata cahaya, penata suara, serta hubungan antar-personel teater, dan tentang arsitektur teater.

Setelah melihat gambaran umum tentang dunia teater, berikutnya kita akan tiba kepada pembahasan yang menjadi pokok di dalam buku ini yaitu tentang tata pentas. Uraian ihwal tata pentas ini, antara lain untuk melandasi gambaran bahwa sejarah atau etnografi teater kita ini sesungguhnya berbeda dengan sejarah/etnografi teater barat. Meski pada suatu saat di masa modern mengalami persinggungan, teater modern Indonesia tetaplah memilih jalannya sendiri. Tentang jalan sejarah teater Indonesia tersebut akan terbaca kembali jika kita melihatnya sejak keberadaan teater etnik, masa teater modern, dan teater adaptif.

Berikutnya, jika teater barat itu dianggap lumrah, maka pada rentang teater Indonesia akan didapati ke-tak-lumrahan yang sesungguhnya merupakan “perlawanan kreatif.” Prinsip yang tak lumrah inilah yang kemudian disebut prinsip “badingkut.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar