Jumat, 14 Desember 2018

"Cosmogony" karya Herry Dim

04 Cosmogony #1 in the heart of stone
*
05 Cosmogony #2 in green jadeite chrysoprasus
*
06 Cosmogony #3 in turqouise blue
*
07 Cosmogony #4 in terracotta and gold
*
08 Cosmogony #5 in red spinel
*
09 Cosmogony #6 in white satin 72dpi_1500pixels
*

Tinjauan Kritis atas "Cosmogony" karya Herry Dim


Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim

Oleh: Jakob Sumardjo

nagara satelung puluh telu
bagawan sawidak lima
pancer salawe nagara

[Kanekes]

1
Manusia Simbol
Nenek moyang bangsa Indonesia hidup dengan simbol, dalam simbol, dan untuk simbol, justru karena tingkat religiositasnya yang tinggi. Simbol adalah Realitas, yaitu penghubung antara manusia dengan Realitas Tertinggi Yang Maha Esa, sesuatu yang terakbar, terluas, terdalam, terkuasa, tak terbatas, yang berada di luar realitas manusia yang terbatas. Dia yang tidak terbatas berada di dunia terbatas namun tidak terkena batas itu. Simbol adalah imanensi yang transenden tak terbatas itu.
Alam tempat manusia ini bergantung adalah simbol-simbol. Gunung bukan lagi sekadar wujud bernama gunung, tetapi simbol penghubung bumi yang terbatas dengan langit tanpa batas. Pohon yang menjulang tinggi ke langit juga simbol mediasi dengan yang transenden. Gua, tebing curam, hulu sungai dan muaranya, bunga dan buah yang berwarna-warni, hewan-hewan, semua adalah simbol.
Begitu pula tubuh manusia sendiri adalah simbol. Wujud kelamin lelaki dan kelamin perempuan adalah simbol. Rambut, tulang, kulit, darah, semen, adalah simbol-simbol mediasi.
Karena manusia hidup di tengah-tengah alam raya yang penuh simbol, maka semua karya budayanya juga didesain dalam simbol-simbol. Rumah yang mereka bangun adalah simbol manusia sekaligus semesta, makrokosmos dan mikrokosmos. Hunian kampung dan kemudian negara yang mereka bangun berdesain simbolik. Bahkan lisungleuitsaunglisunghihidbobokokujang, semuanya mengandung simbol-simbol. Melalui benda-benda budaya itulah Yang Kuasa mengimanensikan diriNya, atau di Jawa Barat disebut Sanghyang Hurip.
Nenek moyang Indonesia hidup di dunia ini dalam totalitas keberadaan, yaitu segala sesuatu yang ditunjuk sebagai realitas. Antara yang transenden dan imanen, antara yang ada di sana dan yang ada di sini adalah suatu kesatuan. Yang di sana dapat berada di sini, dan yang di sini dapat berada di sana. Muncullah realitas paradoks yang struktur paradoksalnya dapat berbeda-beda untuk setiap suku di Indonesia. Kondisi paradoksal sifatnya dapat sementara dan dapat menetap.

**

Lukisan-lukisan Herry Dim dengan tajuk serial Cosmogony mungkin dapat disebut “lukisan abstrak” pada pertengahan abad 20. Tetapi karena simbol-simbol “abstrak” yang dipakainya dapat mengacu pada simbol-simbol primordial Indonesia, maka saya akan membahasnya sebagai karya-karya simbolik primordial. Judul karya yang dipakainya juga mengacu pada cara berfikir primordial atau pra-modern Indonesia.
Kosmogoni atau kosmologi erat sekali hubungannya dengan mitologi-mitologi tua. Kosmogoni lebih mengacu pada asal-usul keberadaan yang dalam kamus bahasa Inggris diartikan the origin or generation of the universe. Di situ mengandung makna proses atau gerak dinamik yang mengarah kepada kosmologi atau ketataan keberadaan yang kurang-lebih tetap. Namun kosmologi yang nampaknya permanen itu ternyata juga tidak permanen alias dalam gerak perubahan yang terus-menerus juga.
Cara Herry Dim memanifestasikan dirinya dalam lukisan-lukisannya ini dapat mengandung dua teori semesta yang saling berseberangan, yakni teori Big Bang dan teori Alam Tetap. Menurut saya ada kandungan paradoks dalam lukisan-lukisan Cosmogony, tetap dan bergerak, materi dan energi, being dan becoming, serta berbagai jenis paradoks yang Anda inginkan.
Untuk mempertanggungjawabkan tafsiran saya ini, harus dibahas terlebih dahulu simbol-simbol primordial Indonesia yang dipakainya.
Kalau diperhatikan lukisan-lukisan ini mengandung sejumlah vokabuler yang tetap yang selalu hadir dalam tiap lukisannya.

2
Bujur Sangkar
Bentuk bujur sangkar, dalam genealogi budaya Indonesia, sebenarnya termasuk pinjaman kemudian, yaitu konsep mandala dari India yang dikembangkan agama Budha. Bentuk yang lebih primordial adalah lingkaran yang dapat ditemukan dalam berbagai produk budaya masyarakat-masyarakat suku Indonesia yang tidak kemasukan agama-agama India kuno.
Bujur sangkar sebagai mandala berarti dunia terbatas yang dihadiri oleh dunia tak terbatas. Dalam budaya religius berarti hadirnya yang transenden di batas-batas dunia imanen, hadirnya yang sakral di wujud yang profan, sehingga bujur sangkar keterbatasan itu mengandung yang tak terbatas. Itulah wilayah buyut di Sunda atau angkerwingit, di Jawa. Bujur sangkar atau mandala adalah ruang sakral yang dihadiri daya-daya transenden.
Di Jawa Barat, mungkin juga di berbagai daerah lain, ruang-ruang mandala seperti itu terlarang untuk dimasuki sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang berkualitas transenden pula yang dapat masuk ke dalamnya. Tempat-tempat demikian itu bernilai buyut alias tabu alias terlarang dan tertutup. Itulah sebabnya mandala-mandala itu dipilih di wilayah-wilayah terasing yang kadang sulit dimasuki manusia justru karena wingitnya itu. Sampai sekarang kabuyutan-kabuyutan semacam itu, di Jawa Barat, tetap lestari karena penduduknya patuh pada tradisi nenek-moyangnya.
Tentu saja Herry Dim tidak bermaksud menciptakan lukisan-lukisan yang buyut seperti itu. Sebagai manusia kontemporer tentu saja hanya peduli makna wacananya. Ya, tetapi siapa tahu bahwa pembeli lukisannya masih kuat faham primordialnya sehingga menempatkan “mandala lukisan” Herry Dim secara khusus di kamar pribadinya, lengkap dengan sesajen dan dupa.
Bujur sangkar atau mandala Herry Dim tersusun dari 25 bujur sangkar kecil. Kalau digambarkan sebagaimana tampak pada gambar 1.


Jumlah 25 bujur sangkar kecil atau mandala anak ini disusun dalam pola 5 lajur horisontal arah kiri ke kanan dan arah vertikal dari atas ke bawah. Dengan pola demikian maka akan ditemukan anak bujur sangkar yang tepat berada di tengah keseimbangan horisontal sekaligus vertikalnya, itulah “pusat” hadirnya yang transenden. Dari pusat itulah terjadi “Big Bang” yang membentuk universe mandala besarnya. Inilah mandala statis yang menetap yang sudah being.
Namun Herry Dim kurang tertarik pada bentuk mandala tetap yang purbawi itu. Sebagai manusia modern yang ambisinya adalah progres, maju terus secara linear, bentuk statis semacam itu tidak membuatnya nyaman. Herry Dim lebih melihat mandalanya sebagai gerak perubahan terus-menerus dengan maknanya sendiri yang kurang-lebih tak terbatas. Bukan kosmogoni tetap yang menjadi kosmologi, tetapi seperti penganut teori Big Bang yang melihat semesta atau hidup ini senantiasa dalam gerak, berubah, menjadi lain dari sebelumnya.
Mandala purbawi yang tetap tak berubah digambarkan sebagai “bujur sangkar dari lingkaran” atau “lingkaran dalam bujur sangkar.” Bentuknya memang bujur sangkar, tetapi sebenarnya sebuah lingkaran.
Bujur sangkar adalah keterbatasan yang jelas awal dan akhirnya dalam garis-garis linear. Inilah simbol dunia manusia atau dunia material. Sedangkan lingkaran tidak punya awal dan tak punya akhir. Kalau Anda menunjukan satu titik pada lingkaran, maka berarti titik awal sekaligus titik akhir. Keberadaannya sirkuler yang tidak ada habisnya. Inilah simbol keabadian, dunia spiritual. Titik kosmogoni kehadirannya tepat di tengah-tengah, pusat, pancer, anak mandala di pusat.
Herry Dim menandainya dengan bujur sangkar yang di pusatnya ada lingkaran, lebih tepatnya tonjolan lingkaran. Tanda ini dapat dijadikan pegangan penting dalam membaca berbagai mandala lukisannya.
Pusat atau pancer sebagai kehadiran kebenaran tertinggi, kuasa tertinggi, dan keinginan tertinggi (takdir) adalah Maha Esa yang menjadikan dirinya menyebar ke segala arah mata angin semesta dalam wujud dan sifat yang berbeda-beda, bahkan saling berseberangan. Dalam vokabuler Herry Dim dapat digambarkan sebagaimana (gambar 2) berikut ini:


Penyebaran arah semesta lebih lanjut adalah (gambar 3) sebagai berikut:

Begitulah selanjutnya sampai seluruh bidang anak-anak mandala dapat diisi dengan pasangan-pasangan oposisi yang lain, misalnya lobang-lobang kecil beroposisi dengan sembulan bulat kecil pula. Komposisi kosmologi yang mengarah demikian itu terdapat dalam lukisan Cosmogony #4 in Terracotta and Gold dan Cosmogony #5 in Red Spinel.
Namun sebagian besar lukisannya merupakan kosmologi yang “rusak” atau “belum jadi.” Mereka menggambarkan proses kosmogoni yang saling menerjang, saling menggusur, saling merampok entah pasangan oposisinya atau jenisnya sendiri. Lukisan-lukisan Herry Dim menggambarkan Chaos semesta entah yang mikro maupun makro. Sebuah dunia yang belum tertata. dunia yang berproses. Sang Seniman menyebut karya-karyanya yang seperti itu sebagai komposisi antara keteraturan yang tetap dan dinamika perubahan.
Maka, dalam logika “dinamika perubahan,” letak mandalanya (kabuyutan) tidak di pusat atau di tengah-tengah ruang mandala (kabuyutan) tetapi terombang-ambing di mana-mana. Meski demikian, perlu pula dicatat bahwa “kabuyutan” tersebut senantiasa hadir pada lukisan-lukisannya.
Begitu pula pasangan-pasangan oposisinya bisa saling berdempetan, menggusur yang lain, bahkan wilayah beberapa mandalanya masih kosong, setengah kosong atau seperempat kosong.
Kalau lukisan Herry Dim ini gambar sebuah mandala besar yang terdiri dari 25 mandala-mandala bagian (kecil) merupakan simbol sebuah negara, maka hanya ada dua lukisan yang saya sebut di atas yang mendekati terbentuknya mandala negara yang selesai, tenang, aman, adil, makmur. Sebuah mandala negara yang loh jinawi, sebuah negara Nusa Damai. Hampir seluruh lukisan lainnya, kalau ditempatkan dalam keberadaan sebuah negara, menggambaran negara yang masih chaos, bergerak, dinamik.
Entah disadari atau tidak, Herry Dim dengan 25 bagiannya membawakan ungkapan Sunda lama yang terdapat dalam cerita pantun Panggung Karaton dan kaum adat Baduy. Bunyi ungkapan adat itu sebagai berikut:

nagara satelung puluh telu
bagawan sawidak lima
pancer salawe nagara
(atau)
Buyut yang dititipkan kepada puun
Negara tiga puluh tiga
Sungai enam puluh lima
Pancer dua puluh lima negara

Sedangkan dalam cerita pantun Panggung Karaton, jumlah 25 itu terdapat dalam bagian ketika Prabu Siliwangi membekali puteranya, Raden Layung, yang ingin mengembara untuk menemukan daerah yang dapat dijadikan negara baru. Prabu Siliwangi memberikan peta yang isinya tergambar suatu daerah yang terdiri dari 33 pulau, 65 sungai, dan pancernya 25 “negara.” Kalau daerah semacam itu ditemukan maka tempat dimana negara yang ideal dapat didirikan. Ternyata daerah semacam itu ada di negara Dayeuh Manggung dengan kepala negara (daerah) Panggung Karaton.
Apa yang dimaksud dengan pulo (pulau)? Bagaimana daerah perbukitan yang merupakan dataran tinggi di Jawa Barat terdapat pulau-pulau? Pulau di sini simbol yang ada di alam Pasundan ini. Pulau adalah suatu wilayah yang berada di pertemuan dua sungai. Kadang dua sungai itu bertemu (patimuan) begitu rupa sehingga membentuk wilayah “terisolasi” akibat di satu ujung dua sungai itu benar-benar bersatu dan ujung yang lain hampir menyatu dan hanya menyisakan daratan tipis antara kedua sungai tersebut. Kalau pertemuan dua sungai tersebut tidak memiliki bagian dimana “dua sungai nyaris bertemu,” maka sering dibikin terusan (walungan) sehingga sebuah daerah pulo terbentuk.
Dengan demikian 33 pulau memerlukan adanya 65 sungai karena setiap pulau memerlukan hadirnya dua sungai. Hitungannya adalah 32 pulau memerlukan 64 sungai, sedang 1 pulau merupakan pusat atau pancer negara (mandala) dengan hanya 1 sungai induk atau “sungai negara.” Dengan demikian dapat diduga bahwa kerajaan-kerajaan Sunda lama berorientasi pada sungai-sungai besar seperti Citarum, Ciliwung, Cimandiri, dan lain-lain. Saya menduga bahwa orientasi kerajaan Galuh di Ciamis berpusat pada sungai Cimuntur yang menyambung ke Citanduy.
Apa yang disebut pancer mungkin mengacu pada semacam “ibu negara,” kalau sekarang semacam kota Jakarta, yang merupakan sebuah “negara” yang berarti provinsi. Di masyarakat Jawa mirip dengan apa yang disebut negaragung atau negara agung. Negara pancer dari 32 pulo yang kira-kira kalau di Jawa disebut mancanegara atau wilayah kuasa suatu negara pusat (Galuh, Pajajaran, Galunggung atau semacam itu). Jumlah 32 pulo atau daerah-daerah “negara kampung” yang menjadi kekuasaannya hanya merupakan idealisme. Dalam kenyataannya mungkin tidak sampai meliputi 32 negara kampung.
Dalam lukisan Herry Dim dapat ditandai dengan mandala-mandala kosong berupa ceruk-ceruk datar. Atau ibu negara itu sendiri juga tidak selalu dikelilingi oleh 24 negara kota lainnya. Mungkin itu pula yang digambarkan dalam lukisan-lukisan Herry Dim, yaitu mandala besar (ibu negara) yang terdiri dari 25 negara bagian (yang dikuasai pangeran), karena kanvas Herry Dim selalu bujur sangkar dengan tatanan 25 bujur-bujur sangkar kecil (bagian).
Kanvas-kanvas Cosmogony Herry Dim yang bujur sangkar ibaratnya negaragung yang dikitari oleh wilayah-wilayah bawahannya atau mancanegara. Semuanya berbentuk mandala-mandala kekuasaan dan kesakralan yang bujur sangkar. Kalau digambarkan dalam konsep Salawe Nagara (25 negara) sebagaimana tampak pada (gambar 4) berikut ini:

Kini saya tinggal menjelaskan kedudukan masing-masing mandala atau “negara bagian” dalam ungkapan: 33 pulau dan 65 sungai. Apa yang dimaksud pulo (negara bagian atau bagian mandala atau anak mandala) dapat digambarkan sebagaimana tampak pada gambar 5 berikut ini:

Dalam peta-peta yang dibuat oleh orang-orang kerajaan Sunda masa lampau, gambar sebuah negara wujudnya kira-kira seperti gambar 6 sebagai berikut:

Marilah kita telusur hierarki tinggi rendahnya kekuasaan dengan hitungan jumlah mandalanya. Mandala paling tinggi adalah negara-kuta yang ada di pusat dengan simbol seperti gambar 7 berikut ini:

Itulah satu-satunya mandala agung kekuasaan.
Mandala agung kekuasaan raja di pusat negara ini dikelilingi oleh 8 mandala pengikut yang biasanya daerah-daerah kekuasaan keluarga raja, entah anak-anaknya atau saudara-saudara kandungnya.

Kalau kekuasaan raja semakin besar, maka mandala-mandala yang mengelilinginya semakin banyak, yakni 16 mandala, seperti digambarkan Herry Dim. Itulah negara atau mandala bawahan yang bisa disebut mancanagara (negara sahabat). Keseluruhannya, mulai dari kedaton, negaragung, mancanegara jumlahnya ada 25 mandala (1 + 8 + 16). Inilah Salawe Nagara itu (gambar 9):

Salawe Nagara ternyata belum ideal. Negara yang lebih besar dari salawe nagara adalah kelipatan 2 dari 16 yakni 32 mandala. Yang lebih ideal lagi adalah kelipatan 2 dari 32 yakni 64 negara atau mandala, ditambah pusatnya menjadi 65 mandala.
Kalau digambarkan besar-kecilnya suatu negara sebagai sebuah mandala besar adalah seperti gambar 10 berikut ini:

Jangan-jangan kerajaan besar seperti Majapahit membawahi 64 negara atau mandala di seluruh kepulauan Nusantara.
Keistimewaan Herry Dim dengan proyek Cosmogony ini adalah meninggalkan jumlah hitung-hitungan mandala besar yang sudah jadi itu. Kalau hanya itu yang mau digambarkan, alangkah membosankannya. Cukup dibikin satu lukisan besar. Negara yang sudah adil makmur kerta raharja penuh damai tata tentrem itu memang hidup, tetapi amat membosankan. Tidak ada masalah. Tidak ada dinamika. Tidak ada konflik. Tidak ada cerita.
Herry Dim seperti seniman-seniman lain lebih tertarik pada adanya dinamika konflik berupa belitan-belitan masalah. Tetapi belitan-belitan konflik itu diletakan dalam pola besarnya yang jelas sistem hubungan kesatuannya. Setiap masalah atau konflik dalam setiap lukisannya dapat dikenali asal-usul maknanya, karena dasarnya adalah desain besar mandala yang dipakainya.
Saya tidak akan membahasnya karena setiap orang dapat menemukan lenyapnya hubungan-hubungan, yang menimbulkan masalah, dalam proses pembentukan suatu harmoni yang adem ayem. Mandala ideal itu tetap ideal belaka, atau sebenarnya yang demikian itu tak akan pernah ada. Yang ada ialah apa yang dilukiskan Herry Dim, bahwa jalan menuju idealisme seperti itu senantiasa berproses terus-menerus dengan berbagai permasalahan yang rumit.
Yang menarik manusia itu adalah adanya cerita, adanya suatu proses. Kalau cerita itu sudah selesai, maka kebosanan yang akan diperoleh. Saya sudah tahu, jadi mau apa lagi?
Tetapi kalau Anda mengamati lukisan-lukisan ini, dan Anda ingin tahu, tetapi tidak kunjung tahu juga, itulah daya tarik Cosmogony Herry Dim.
Tidak tahu itu bukan dalam arti tidak tahu sama sekali. Sebenarnya Anda sudah tahu aturan main Herry Dim dengan lukisan-lukisan mandalanya, namun belum sepenuhnya memperoleh jawaban finalnya.
Itulah keasyikan seni.
Itulah tepatnya bidang lukisan Herry Dim yang merupakan “pancer salawe nagara.”
Tentu saja lukisan-lukisan itu tidak harus merupakan simbol-simbol mandala negara, tetapi juga mandala pribadi, mandala bangsa, lembaga-lembaga pendidikan, kehakiman, dan banyak lagi. Prinsipnya adalah bhineka tunggal ika, yang nampaknya banyak dan saling berseberangan, sebenarnya dapat saling mengisi, saling melengkapi, saling menggenapi, sehingga setiap bagian yang tak pernah sempurna pada dirinya akan menjadi sesuatu yang sempurna kalau semuanya mengesa. Kesatuan totalitas yang membentuk keseimbangan tanpa melenyapkan atau mengecilkan yang lain itulah prinsip pokok primordial Indonesia.


3
Pancer
Pancer adalah pusat, entitas yang mengandung semua bagian-bagiannya karena bagian-bagian itu adalah pancaran dari keberadaanNya. Nilai pancer adalah tertinggi karena hadirnya yang transenden padanya. Kalau dia manusia maka disebut manusia sempurna, dewa-kemanusiaan, dewa-raja, insan kamil.
Pencapaian tingkat demikian tidak mudah. Kalau manusia harus mencapai tingkat hakikat tiada perbedaan yang dualistik lagi. Dengan tingkat ini manusia atau lembaga dapat mentransendenkan diri menyatu dengan Yang Maha Esa, yaitu sampai tingkat tertinggi manusia yang makrifat (unio). Pada tingkat ini apa pun yang dikehendakinya, apa yang dipikirkannya, dan apa yang diputuskannya senantiasa benar belaka, meskipun kadang tidak masuk akal.
Dalam lukisan Herry Dim digambarkan dalam pilihan sebuah mandala bagian dalam dengan sembulan lingkaran padat di tengah-tengahnya. Dalam bahasa mandala itulah tempat hiranya garbha atau rahim murni primordial. Inilah gambarnya (gambar 11):

Seharusnya pancer itu ada di pusat mandala yang dikelilingi oleh mandala-mandala lain yang serupa di arah empat mata angin semesta atau delapan arah semesta, atau kelipatan dari jumlah itu. Dari pancer terjadi proses menyebar dalam gerak sentrifugal atau justru gerak memusat dalam gerak sentripetal.
Dalam lukisan Herry Dim hanya dua lukisan yang memasang pancer persis di pusat mandala. Meskipun demikian letak mandala-mandala yang mengandung oposisinya belum tertata dengan benar. Inilah simbol negara yang belum menyatu padu dalam totalitas kehidupannya. Pancer sudah ada, namun bagian-bagian belum menjalankan tugas semestinya di ruang masing-masing.

4
Mandala Kosong
Bidang mandala kecil atau mandala bagian yang berisi lobang bundar atau lobang ceruk adalah simbol kekosongan, ketiadaan, yang mirip goa-goa dalam dunia primordial Indonesia. Goa berarti keperempuanan asal-muasal hidup ini. Dalam banyak mitologi di Papua misalnya goa-goa berisi roh-roh. Tidak mengherankan kalau banyak goa-goa yang dindingnya dipenuhi lukisan aneka rupa. Itulah ruang roh-roh, semacam mandala spiritual,
Dengan demikian pasangan mandala kosong ini adalah mandala isi, yakni mandala yang berisi sembulan bundar. Itulah pasangan baut dan sekrup, isi dan wadah. Wadah menentukan bobot isi, dan isi menyesuaikan dengan wadahnya. Dengan demikian sembulan bernilai kelaki-lakian.
Kategori laki-permpuan dalam pasangan oposisioner dwitunggal dapat berarti banyak, misalnya pemimpin adalah lelaki dan yang dipimpin adalah rakyat yang perempuan. Ketegasan adalah lelaki, kasih sayang perempuan. Mendapat banyak (kaya) bernilai laki-laki sedang memberi banyak (derma) adalah perempuan.
Pada lukisan Herry Dim mandala kosong ini biasanya berisi lobang yang lebih kecil dari sembulan bulat pancernya. Bahkan kadang disertai lobang yang lebih besar namun tak lengkap, hanya seperempat atau setengahnya saja. Inilah gambarnya (gambar 12):


Lingkaran Linear
Gambarnya seperti di bawah ini (gambar 13):

Gerak melingkar garis linear ini disebut mengkanankan pancer atau pusat, yakni gerak searah jarum jam modern. Gerak ini bermakna dari bawah ke atas, dari material ke spiritual, dari manusia menuju illahiah. Di daerah Subang sering disebut ider naga, kalau anti-jarum jam disebut ider munding. Inilah bentuk primordial yang-yin Cina. Ras Indonesia yang mongoloid purba masih ada hubungan dengan perkembangan peradaban Cina.
Dalam yang-yin Cina kesempurnaan totalitas dari peleburan dualitas digambarkan sempurna dalam satu entitas yang sebenarnya dibentuk oleh dua entitas yang saling berbalikan (gambar 14).

Kalau ditelusur lebih jauh asal-usulnya mirip dengan gerak melingkar mengkanan dan mengkiri dalam bentuk motif huruf “S” Indonesia (gambar 15)

Dengan demikian penggunaan bentuk melingkar dalam lukisan Herry Dim bertolak dari konsep yang amat purba di Indonesia, sebelum ras mongoloid terpecah-pecah dalam banyak bangsa dan negara sekarang ini. Dalam bentuknya yang purba yang-yin Indonesia terpisah dalam dua bentuk motif huruf “S” yang normal dan yang terbalik. Beginilah gambarnya (gambar 16):

Kalau motif huruf “S” normal mengandung arah melingkar yang mengkanan, maka motif huruf “S” terbalik mengandung arah melingkar mengkirikan pusat.
Arah lingkar anti-jarum jam, yakni arah gerak mengkirikan pusat berarti “turun” mengikuti hukum gravitasi, yakni dari atas ke bawah, dari rohani ke materi. Arah gerak ini dapat diasosiasikan dalam kategori perempuan. Sedang arah gerak jarum jam masuk kategori lelaki. Hal ini masih dapat dilihat dari cara melipat kain batik pada lelaki yang ujungnya jatuh di kaki kanan, sedang pada perempuan arah lipatannya terbalik sehingga ujung kain batik jatuh di kaki kiri.
Dalam lukisan Herry Dim dapat dibaca sebagai gerak melingkar ke kanan dalam mandala yang manusianya mentransendensikan diri. Sedang gerak mengkiri Yang Esa mengimanen di dunia manusia.
Dalam mandala yang kedua gerak itu ada, maka berarti pertemuan yang bawah ke atas dan yang atas ke bawah, transendensi dan imanensi terjadi dalam satu mandala.


6
Garis-garis Lurus
Dalam gambar Herry Dim berbentuk seperti (gambar 17) ini:


Inilah mandala yang belum mandala karena jajaran garis lurus yang meskipun berdampingan tetapi saling terpisah. Motif demikian ada pada kain lurik di Jawa atau kain sarung Nusantara. Bedanya dengan kain lurik adalah adanya pola hubungan antara garis-garis besar dan kecil dalam penempatan atau komposisi yang tetap. Misalnya (gambar 18) begini:

Garis tebal adalah gabungan antara dua garis kecil yang berarti menyatukan yang pasangan garis kecil. Atau sebaliknya pasangan 4 garis besar justru disatukan oleh garis kecil (halus, rohaniah).
Dalam lukisan Herry Dim bahkan bidang mandala tidak berisi garis-garis penuh. Ketidak sempurnaan. Ketidak seimbangan. Garis-garis yang sama tebalnya, selama berjajar adalah pemisah. Liniaritas adalah pemisahan, tetapi garis sirkuler menyatukan yang mendefinisikan ruang. Pada Herry Dim ada ruang terisi pemisahan-pemisahan dan sekaligus ruang kosong belum terisi. Misalnya (gambar 19) begini:



7
Lapis-lapis Mandala
Dalam satu anak mandala, Herry Dim mengisinya dengan mandala-mandala berlapis seperti (gambar 20) ini:



Tetapi tidak saya jumpai lapis-lapis mandala yang digambarkan seperti (gambar 21) ini:

Mandala berlapis semacam itu menunjukan tingkat hierarki kesakralan seperti terdapat pada candi Borobudur, kira-kira begini (gambar 22):

Mengapa Herry Dim lebih menyukai mandala “jajaran genjang” seperti itu? Dan tidak lapis-lapis mandala seperti Borobudur?
Entah disadari atau tidak, mandala jajaran genjang atau belah ketupat itu sampai sekarang masih digunakan di daerah kasepuhan Banten Kidul, yaitu ketika menentukan pancer dalam suatu ritualnya. Bentuknya seperti (gambar 23) ini:
Bandingkan dengan lambang swastika yang bahkan digunakan juga oleh Hitler (gambar 24).
Untuk memahami hal ini kita harus kembali pada makna pancer sakral yang menyebarkan kesakralannya ke semua penjuru mata angin semesta. Umumnya sebuah mandala hanya menunjuk pada 4 arah mata angin, yaitu timur, barat, utara, selatan. Tetapi pada mandala besar jumlah arah mata angin semesta itu ada 8, yang ditambah dengan arah barat-utara (barat laut), barat-selatan (barat daya), timur-utara (timur laut), dan timur-selatan (tenggara).
Penjelasannya adalah pada masyarakat pesawahan yang hidup dari berladang di dataran-dataran tinggi yang berbukit-bukit, mereka hanya mengalami arah hulu-hilir (biasanya utara-selatan) dan arah matahari terbit dan tenggelam. Pada dasarnya hanya mengenal dua arah saja, yakni utara-selatan dan barat-timur sebagai garis ayah yang bermakna “cahaya” (mungkin arah terbit dan tenggelamnya matahari). Pertemuan dua arah semesta besar inilah (tritangtu) yang dijadikan pancer-pancer, sehingga keempat pancernya menyatu dalam ruang mandala, dan terbentuklah mandala belah ketupat.
Gambar mandala di Bali, seperti terlihat dari pola letak bangunan-bangunan dalam sebuah rumah, mirip pengertian arah semesta di kampung kasepuhan Banten Kidul, yakni garis miring yang mengandung rangkap arah alias paradoksal, yaitu menunjuk arah barat laut, barat daya, timur laut, tenggara. Bukan arah utara-selatan barat-timur.
Dengan cara pandang demikian maka tempat paling sakral justru tidak ada di pusat tetapi justru di pojok timur laut.
Makna mandala di Bali biasanya digambarkan seperti (gambar 25) berikut:

Mungkin inilah sebabnya bentuk mandala belah ketupat lebih “benar” dan “cocok” sebagai orang Sunda. Tetapi boleh jadi juga oleh pandangan modernnya yang nanti akan saya jelaskan.
Mengapa letak pancer pada banyak lukisan Herry Dim menghindari pusat yang persis di tengah-tengah bujur sangkar mandala?


8
Tekstur Ceruk dan Sembulan
Lukisan-lukisan Herry Dim ini paradoks, karena biasanya lukisan hanya berada di bidang datar kain atau kanvas. Padanya ada aspek ruang karena permukaan lukisannya bertekstur, sebagian muncul di permukaan dan sebagian dibuat ceruk ke dalam, jadi mirip seni rupa tua Indonesia, yakni lukisan relief pada candi-candi. Lukisan-lukisan Herry Dim pada dasarnya relief modern.
Bidang-bidang ceruk biasanya memberikan kesan kekosongan, tidak ada, belum ada, atau ada gejala akan mengada (lubang-lubang kecil yang senantiasa ditoreh secara berirama). Atau kosong itu sendiri jangan-jangan dapat berarti Kosong, Sunya, Awang Uwung, Suwung.
Justru ceruk adalah ketiadaan atau kekosongan yang sejatinya justru segalanya, mengikuti ungkapan Sunda: adanya tidak ada, adanya ada (ayana ayaayana euweuhaya teh euweuheuweuh teh aya).

9
Kosmogoni Herry Dim
Begitulah tafsir saya atas lukisan-lukisan Cosmogony Herry Dim berdasarkan cara berfikir pra-modern Indonesia. Elemen-elemen kosmogoninya sudah saya tafsirkan sesuai dengan pola mandala. Meskipun Herry Dim menggunakan pola mandala tetapi dia mengubahnya menurut naluri dan pemikirannya sendiri. Perhatiannya terpusat pada asal-usul atau “the origin” semesta (universe), yakni asal-usul keberadaan ini.
Dalam pandangan modern entitas seperti pancer, pusat, sakral, transenden, semua itu tidak ada. Kaum astronom dapat mengatakan bahwa “our universe has no center.” Kalau pusat original (berlawanan dengan Big Bang) itu tidak ada, maka yang disebut pancer dan pusat itu bisa di mana-mana. Mengikuti pandangan ini, maka pusat kosmogoni Herry Dim memang wajar saja dapat ada di mana-mana, tidak harus di pusat atau tengah-tengah kanvasnya. Jadi pembacaannya, kalau center itu ada di pinggir maka bagaimana hubungan pancer yang di pinggir itu dibangun dalam wujud kosmologinya.
Simbol-simbol yang sudah saya uraikan berdasarkan kenyataan masa lalu bangsa ini. Itulah warisan cara berfikir nenek moyang kita dahulu memaknai dirinya, dunia, dan Tuhan. Kita sekarang juga memiliki pemaknaan sendiri tentang diri, dunia, dan idea-idea.
Tetapi apakah cara berfikir lama dalam memaknai keberadaan ini sudah lapuk dan ketinggalan zaman sehingga lebih baik kita bunuh ramai-ramai? Atau sebenarnya pola-pola pikiran tua ini masih sangat relevan untuk menjalani hidup masa kini?
Bukankah kita mengalami begitu banyak masalah yang tak terpecahkan justru karena kita telah melupakan filosofi tua Indonesia ini? Bukankah telah terbukti bahwa selama 4 atau 3 millenium bangsa ini berhasil hidup lestari dalam kedamaian? Bukankah masuknya cara berfikir luar itulah yang memulai menimbulkan masalah-masalah di Indonesia?
Tengoklah kaum adat yang keras kepala tidak mau masuk ke modernitas. Mereka hidup penuh kedamaian tanpa diusik oleh cara berfikir baru dari luar. Mereka ini akan tetap terus hidup damai, tata tentrem kerta raharja, meskipun republik ini tidak ada! Mengapa cara hidup kedamaian semacam itu tidak kita telisik kembali?
Herry Dim telah melakukan dan mencoba menafsirkan kehidupan modern ini berdasarkan pola-pola pikir tua, disadari atau tidak. Dengan melokal akan mengglobal.***

Jakob Sumardjo adalah seorang penulis kritik sastra dan juga pelopor filsafat seni di Indonesia. Jakob merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara, putra dari pensiunan ABRI, P. Djojoprajitno.
Karier kefilsafatan Jakob Sumardjo dimulai ketika menulis kolom di harian Kompas, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan, dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak 1969. Buku-bukunya yang membahas filsafat Indonesia ialah: Filsafat Seni (2000), Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Buadaya Indonesia (2002), Mencari Sukma IndonesiaPendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (2003), Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda (2003), SundaPola Rasionalitas Budaya (2012), Negeri Sepanjang Tikai100 Esei Kesaksian Indonesia (2012), dan Estetika Paradoks (edisi revisi, 2014).***
*
*